“Keputusan yang akan kita ambil beberapa pekan ke depan, baik kita dan pemerintah, kemungkinan akan menentukan bagaimana wajah dunia beberapa tahun ke depan. Keputusan itu tidak hanya menentukan bentuk atau sistem kesehatan saja, tapi juga tentang bagaimana wajah ekonomi, politik, dan kebudayaan.”
— Yuval Noah Harari
Sudah lebih dari setengah tahun sejak pandemi covid-19 merebak pertama kalinya di Provinsi Hubei, China dan menyerang seluruh negara di dunia tak terkecuali Indonesia. Virus yang awalnya dihadapi dengan serangan meme kocak netizen mengenai ketidakmungkinan pandemi ini menyerang Indonesia karena warganya yang terbiasa mengkonsumsi rempah-rempahan dan hidup berdampingan dengan virus mematikan lainnya, akhirnya harus mundur alon-alon.
Pasalnya, virus ini merebak di bumi pertiwi tak lama setelah berita kemunculan kasus pertama di negara tetangga. Pada pertengahan Maret 2020 pemerintah memberlakukan social distancing selama dua minggu yang disusul dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar yang dilakukan di sejumlah kota besar di Indonesia.
Kebijakan ini berangsur-angsur mempengaruhi segala lini kehidupan manusia dan negara, mulai dari pendidikan, politik, kesehatan hingga yang tak kalah telak, ekonomi. Sekali lagi, Indonesia tidak sendiri, bersama dengan 215 negara lainnya yang mengalami gempuran serupa.
Dilansir dari situs worldmeters per 23 Juni 2020, Covid-19 telah mencapai 9,194,445 kasus di dunia, dengan total kematian sebanyak 474,503 jiwa dan sembuh sebanyak 4,941,653 jiwa. Amerika serikat menduduki peringkat teratas mengalahkan China sebagai negara awal tempat virus merebak, sedangkan Indonesia pada tanggal yang sama telah mencapai 46,845 kasus dengan total kematian 2,500 jiwa dan sebanyak 18,735 jiwa telah sembuh.
Angka ini diprediksi akan terus naik disusul dengan pelonggaran pembatasan sosial di sejumlah wilayah. Memang kebijakan ini dilematis, tetapi tak bisa dipungkiri juga bahwa sektor ekonomi yang terpukul telak akibat pandemi perlu diselamatkan guna menjamin keberlangsungan hidup masyarakat.
Saking dahsyatnya dampak Covid kepada perekonomian dunia, dilansir dari Kompas.com pada kuartal I tahun 2020 pertumbuhan ekonomi di sejumlah negara mitra dagang Indonesia mengalami pertumbuhan negatif seperti yang terjadi pada Singapura -2,2, Hongkong -8,9, Uni Eropa -2,7 dan China sampai minus 6,8. Indonesia juga mengalami kontraksi yang cukup dalam dari 4,97 di kuartal terakhir pada tahun 2019, terpantau hanya tumbuh 2,97 pada kuartal I tahun 2020.
Pada kuartal II tahun ini besar harapan perekonomian Indonesia sedikit demi sedikit kembali membaik dengan pelonggaran PSBB. Pandemi Covid-19 juga dianggap sebagai era “kocok ulang” pada rantai pasokan dunia (global supply chain). Dunia yang pada mulanya bergantung pada China yang menguasai kurang lebih 20 persen, dipaksa bergeser ke beberapa negara lain. Indonesia juga bisa merebut kursi pada global supply chain dengan berbenah diri untuk menarik investor.
Pandemi ini juga menyebabkan naiknya tingkat pengangguran, selain gelombang kedua pandemi yang baru saja merebak di provinsi Beijing, China juga harus berurusan dengan sekitar 70 juta orang yang menjadi pengangguran akibat pandemi, kejadian serupa juga terjadi di AS yang meningkat sekitar 20% dari jumlah keseluruhan angkatan kerja. Tak terkecuali Indonesia yang mengalami banyak PHK masal oleh perusahaan. Masa depan perekonomian Indonesia dan global semakin tak pasti karena vaksin yang tak kunjung ditemukan.
UMKM Menjadi Sektor yang Paling Babak Belur Saat Pandemi

Berdasarkan sensus ekonomi dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2016 UMKM telah berkontribusi menyerap 89,2 persen dari total tenaga kerja. Menyediakan 99 persen dari total lapangan kerja, dan menyumbang 60,34 persen dari total PDB nasional.
Bila saat krisis 98 UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) menjadi sektor yang paling aman, tidak halnya pada masa pandemi tahun 2020. Hal ini dibenarkan oleh Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad, bahkan menurutnya gempuran terhadap UMKM sudah terjadi sejak awal masa pandemi. Hal ini diperburuk dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan fisik menyebabkan UMKM kehilangan bahan baku, pemasaran serta mempersempit ruang gerak UMKM.
Pada bulan April saja tercatat ada sekitar 37.000 pelaku UMKM yang melapor ke Kementerian Koperasi dan UKM, mereka mengaku mengalami dampak yang sangat signifikan pada usahanya akibat pandemi Covid-19. Beberapa pengamat mengatakan angka ini kemungkinan belum pasti, diperkirakan masih banyak UMKM yang tidak melapor. Itu artinya jumlah pelaku UMKM di lapangan lebih banyak lagi. Padahal perekonomian Indonesia ditopang oleh pelaku UMKM ini.
Investasi Guna Menyelamatkan UMKM

Pemerintah mengatakan bahwa UMKM menjadi prioritas penyelamatan ekonomi di tengah pandemi dengan memberikan bantuan langsung tunai dan kartu pra-kerja bagi pelaku usaha. Selain itu investasi juga dapat dilakukan guna menyelamatkan UMKM apalagi yang permodalannya terbatas, saat ini sudah banyak platform yang memberikan kemudahan dan fasilitas terbaik agar pebisnis mendapatkan modalnya, salah satunya yaitu JOINAN.
JOINAN menawarkan model investasi berbasis Equity Crowdfunding (ECF) yang mana para investor secara bergotong-royong akan memenuhi modal yang dibutuhkan oleh pelaku usaha.
Mengapa investasi? karena investasi memungkinkan para pebisnis untuk memastikan kecukupan modalnya guna mengembangkan usaha yang cukup sulit dilakukan saat pandemi. Investasi juga membantu masyarakat Indonesia menjaga idle money-nya (uang nganggur) agar tidak jatuh pada pembelian barang yang tak diperlukan. Investasi membuat “uang nganggur” ini menjadi produktif sekaligus tetap menggerakan perekonomian Indonesia.
Sistem Equity Crowdfunding (ECF) yang diadopsi oleh JOINAN memberi investor legalitas kepemilikan saham pada UMKM yang di danai, equity crowdfunding memungkinkan investor pemula untuk terjun ke dalam investasi karena tidak memerlukan dana yang besar, dan pilihan bisnis beragam sesuai selera, sehingga JOINAN sangat cocok untuk generasi Milenial dan generasi Z.
Dengan begini, pelaku usaha dapat kembali melanjutkan usahanya, membayar gaji pegawai hingga melakukan ekspansi sehingga pilihan untuk mem-PHK karyawan dapat dihindari. Pelaku usaha diharapkan mampu tetap survive dan kembali meraup keuntungan. Para investor juga lebih bijak dalam mengelola keuangan daripada harus berakhir pada pembelian barang-barang yang kurang diperlukan. Dengan berinvestasi, terjadi timbal balik antara investor dan pelaku usaha yang menguntungkan. Yuk gabung JOINAN!
#SemuaBisaJoinan
Penulis: Mira Ayu Dwi Cahyani